Krisis Literasi di Indonesia

Krisis Literasi di Indonesia

 

Gambaran Umum Literasi di Indonesia

Tingkat literasi di Indonesia masih menjadi tantangan serius dalam dunia pendidikan. Meski pemerintah telah menggulirkan berbagai program Gerakan Literasi Nasional ( GLN) dan memperkuat kurikulum berbasis literasi, minat baca masyarakat terutama pelajar masih tergolong rendah.Berdasarkan survei Program for International Student Assessment (PISA) oleh OECD pada tahun 2018, Indonesia menempati peringkat ke-72 dari 77 negara dalam kemampuan membaca.

Rendahnya daya baca ini dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti keterbatasan akses bahan bacaan berkualitas, rendahnya budaya membaca di rumah dan masyarakat, serta dominasi budaya visual dan media sosial. Namun, tren positif mulai terlihat dengan tumbuhnya komunitas literasi, program literasi sekolah, serta pemanfaatan media digital untuk promosi membaca.

Upaya literasi di Indonesia tidak hanya sekedar meningkatkan kemampuan membaca, tetapi juga membentuk karakter kritis, dan mampu berpikir reflektif dalam menghadapi informasi global yang semakin kompleks. Baca juga Deep Learning dalam Perspektif Islam

 

Survei dan Indeks Literasi: Indonesia di Mata Dunia

Aspek Temuan Utama
Skor Literasi Membaca 359 dalam PISA 2022 (vs rata-rata global 476) (Kompas)
Peringkat Internasional ke-71 dari ~81 negara peserta, namun ranking relatif tidak selalu berarti kualitas (Kompas)
Prosentase yang Lemah ~75% siswa belum mencapai level dasar literasi dalam membaca (Kompas)
Tren Skor PISA Penurunan setiap bidang sejak 2018 akibat pandemi, tapi pemulihan lebih cepat (polibatam.ac.id, Jawa Pos)
Faktor Penentu Kualitas guru, kesenjangan akses, sistem pembelajaran, infrastruktur pendidikan ( Wikipedia)

 

Seberapa Besar Daya Baca Kita?

Daya baca masyarakat Indonesia tergolong rendah jika dibandingkan dengan negara – negara lain.Berdasarkan hasil survei UNESCO, rata-rata masyarakat Indonesia hanya membaca 0–1 buku per tahun, jauh tertinggal dari negara-negara maju yang mencapai 10–20 buku per tahun. Bahkan, data dari Program for International Student Assessment (PISA) 2022 menunjukkan bahwa sekitar 75% siswa Indonesia tidak mampu mencapai tingkat dasar dalam kemampuan membaca.

Faktor penyebab rendahnya daya baca antara lain adalah:F

  • Kurangnya budaya membaca di lingkungan keluarga dan masyarakat.

  • Keterbatasan akses terhadap bahan bacaan berkualitas.

  • Dominasi konsumsi media visual dan hiburan digital.

  • Minimnya fasilitas perpustakaan dan ruang baca yang menarik di sekolah dan ruang publik.

Meskipun begitu, terdapat harapan melalui gerakan literasi sekolah, komunitas membaca, serta tren media sosial seperti bookstagram dan podcast literasi yang mulai tumbuh di kalangan generasi muda. Namun untuk menciptakan lompatan besar, diperlukan kerja sama antara pemerintah, sekolah, keluarga, dan masyarakat untuk menjadikan membaca sebagai gaya hidup dan kebutuhan. Baca juga 2 Metode Rasulullah ﷺ Dalam Mendidik Anak

Mengapa Literasi Kita Masih Rendah?

Rendahnya tingkat literasi di Indonesia bukan hanya soal minat baca yang lemah, tetapi merupakan hasil dari berbagai faktor sistemik dan budaya yang saling berkaitan. Berikut ini beberapa penyebab utama :

  1. Kurangnya Budaya Membaca di Rumah dan Masyarakat
    Banyak anak tumbuh tanpa teladan membaca dari orang tua. Buku belum menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari, dan budaya literasi belum tertanam kuat dalam keluarga maupun komunitas.

  2. Keterbatasan Akses terhadap Bacaan Berkualitas
    Tidak semua daerah memiliki akses yang baik terhadap buku dan bahan bacaan. Perpustakaan di sekolah dan desa sering kali minim koleksi atau kurang menarik.

  3. Pendidikan yang Lebih Menekankan Hafalan daripada Pemahaman
    Sistem pendidikan di Indonesia cenderung fokus pada ujian dan hafalan, bukan pada pembelajaran yang mendorong pemikiran kritis, eksplorasi, dan kecintaan membaca.

  4. Rendahnya Kualitas Pembelajaran Literasi di Sekolah
    Banyak guru belum mendapat pelatihan khusus dalam mengembangkan kemampuan literasi siswa secara menyeluruh (membaca kritis, memahami teks, dan menyampaikan gagasan).

  5. Dominasi Konten Digital yang Bersifat Hiburan
    Anak dan remaja lebih sering mengakses media sosial, game, dan video dibandingkan membaca buku. Konsumsi informasi cepat tanpa pendalaman menjadi kebiasaan umum.

  6. Kurangnya Dukungan Kebijakan Berbasis Data
    Meskipun ada Gerakan Literasi Nasional, implementasi di lapangan sering tidak konsisten dan belum sepenuhnya mengakar dalam kurikulum dan praktik pembelajaran.

Literasi yang rendah berdampak langsung pada kemampuan berpikir kritis, produktivitas, dan kualitas SDM Indonesia. Meningkatkan literasi bukan sekedar menyedikan buku, tetapi membangun ekosistem yang mendukung anak untuk tumbuh sebagai pembaca aktif dan pembelajar sepanjang hayat.

Haruskah Kita Khawatir?

Rendahnya literasi berdampak pada kualitas berpikir kritis, keterampilan kerja, daya saing global, dan ketahanan moral generasi muda. Dalam konteks keislaman, hal ini juga menghambat pemahaman mendalam terhadap agama.

Tingkat literasi yang rendah bukan hanya masalah pendidikan, tetapi juga berpengaruh langsung terhadap masa depan bangsa. Literasi adalah dasar dari semua bentuk pembelajaran dan kemajuan. Tanpa kemampuan membaca, memahami, dan berpikir kritis, masyarakat akan kesulitan menyaring informasi, mengambil keputusan rasional, serta berpartisipasi aktif dalam pembangunan dan demokrasi.

Rendahnya literasi akan memperburuk masalah sosial lainnya seperti pengangguran, kemiskinan, intoleransi, bahkan penyebaran hoaks dan radikalisme. Oleh karena itu, kondisi literasi Indonesia bukan sekadar statistik, melainkan alarm peringatan bagi semua pihak.

Apa Solusinya?

Berikut beberapa solusi nyata yang bisa dilakukan oleh berbagai pihak:

       Untuk Sekolah dan Guru:

  • Integrasikan literasi dalam semua mata pelajaran, tidak hanya Bahasa Indonesia.

  • Bentuk komunitas literasi seperti book club, bookstagram, dan pojok baca kelas.

  • Berikan pelatihan literasi guru secara rutin agar dapat memfasilitasi pembelajaran berbasis teks yang menarik.

      Untuk Orang Tua dan Keluarga:

  • Jadikan membaca sebagai kegiatan harian di rumah, bukan hanya tugas sekolah.

  • Batasi waktu layar dan perbanyak waktu interaksi buku bersama anak.

  • Ciptakan lingkungan rumah yang kaya teks dan mendukung rasa ingin tahu anak.

      Untuk Pemerintah dan Lembaga Terkait:

  • Perluas akses buku dan bahan bacaan berkualitas, khususnya di daerah 3T (Tertinggal, Terdepan, Terluar).

  • Revitalisasi perpustakaan sekolah dan desa agar lebih hidup dan menarik.

  • Luncurkan kampanye literasi berkelanjutan di media nasional dan lokal.

      Untuk Komunitas dan Media Sosial:

  • Gunakan platform digital seperti YouTube, Instagram, dan TikTok untuk mengampanyekan literasi dengan cara yang kreatif.

  • Bangun gerakan membaca kolektif di komunitas, masjid, pesantren, atau forum ibu-ibu.

Penutup

Tingkat literasi dan daya baca masyarakat Indonesia mencerminkan tantangan besar yang harus dihadapi bersama. Rendahnya kemampuan membaca bukan sekadar persoalan pendidikan, melainkan persoalan bangsa yang menyangkut kualitas sumber daya manusia, daya saing global, dan masa depan generasi muda.

Namun, tantangan ini bukan tanpa harapan. Gerakan literasi mulai tumbuh di sekolah, keluarga, dan komunitas. Teknologi digital pun bisa dimanfaatkan sebagai alat untuk mempopulerkan budaya membaca dengan cara yang lebih relevan bagi generasi masa kini.

Kini saatnya semua pihak—pemerintah, pendidik, orang tua, pelajar, dan masyarakat—bersinergi membangun ekosistem literasi yang kuat. Karena membangun budaya baca bukan hanya tentang mencetak pembaca, tetapi tentang melahirkan pemikir, pembelajar, dan pemimpin masa depan yang beradab dan bijaksana.

Mari kita mulai dari rumah sendiri dengan menjadikan membaca sebagai kebiasaan harian. Karena seperti pesan pertama dalam Islam: ‘Iqra!’ – Bacalah.

Referensi
  1. BPS (2021). Tingkat Melek Huruf Indonesia.
  2. UNESCO (2019). Indeks Minat Baca Global.
  3. PISA OECD (2019). Literacy Ranking.
  4. ISSED (2023). Survei Kegemaran Membaca Nasional.
  5. Kompasiana, GoodStats, Suara USU, Daarut Tauhiid, RRI.co.id.

 

Bogor, 27 Juli 2025

 

Ummu Harits