Guru dan Ketimpangan

Guru dan Ketimpangan

Pendahuluan

Guru adalah pilar utama dalam mencetak generasi masa depan bangsa. Menurut survei GoodStats 2024, profesi guru menempati peringkat tertinggi sebagai profesi paling dipercaya masyarakat Indonesia, dengan tingkat kepercayaan publik mencapai 74 %.Baca di sini Sayangnya, kepercayaan yang tinggi ini belum sejalan dengan kesejahteraan yang mereka terima. Terutama bagi guru honorer, realitas pahit berupa gaji di bawah standar, minimnya perlindungan sosial, dan ketidakpastian status kepegawaian masih menjadi tantangan besar. Ketimpangan ini tidak hanya berdampak pada aspek finansial, tetapi juga memengaruhi kesehatan mental dan emosional guru dalam menjalankan peran mulianya. Artikel ini akan mengulas secara menyeluruh pentingnya dukungan emosional bagi guru di tengah ketimpangan kesejahteraan yang masih terjadi.

Foto by :pixbay


Data Statistik Terkini

Fakta di lapangan menunjukkan betapa seriusnya ketimpangan kesejahteraan guru, terutama mereka yang berstatus honorer. Berdasarkan data dari GoodStats dan Detik Finance:

  • 74 % guru honorer menerima gaji di bawah Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK).

  • Sebagian besar hanya memperoleh di bawah Rp 2 juta/bulan, dan sebanyak 20,5 % guru bahkan menerima kurang dari Rp 500 ribu/bulan.

  • Tak hanya itu, 89 % guru honorer merasa penghasilan mereka tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar keluarga, yang rata-rata memiliki tanggungan 3 orang.

  • Untuk mencukupi kebutuhan, 39 % guru mengambil pekerjaan tambahan sebagai pengajar bimbel, 29,3 % berdagang, dan sisanya bertani atau menjadi pengemudi ojek online.

Ketimpangan ini semakin diperparah oleh keterbatasan akses terhadap tunjangan, pelatihan profesional, dan fasilitas mengajar yang layak—terutama di daerah 3T (terdepan, terluar, tertinggal). Maka wajar bila tekanan emosional pun menjadi keseharian yang tak terhindarkan bagi banyak guru.Baca di sini


🗣️ Kutipan Narasumber & Suara Guru

Di balik papan tulis dan rutinitas kelas, tersimpan kisah perjuangan guru-guru honorer yang mengabdi dalam sunyi. Mereka bekerja dengan semangat, meski harus bertahan di tengah keterbatasan finansial yang menyakitkan.

“Gaji saya hanya 300 ribu per bulan. Tapi saya tetap mengajar karena saya cinta murid-murid saya.”
— Guru honorer di Jawa Barat (Detik, Murianews, Reddit)

Pernyataan ini bukanlah satu-satunya. Di forum daring Reddit, banyak warganet turut bersuara, membagikan pengalaman serupa:

“Saya juga dulu salah satu guru honorer bergaji 300 rb… Jadi guru itu lebih capek daripada jadi tata usaha… Salut bagi guru-guru honor.”
— Reddit user, 2025

Ungkapan-ungkapan ini mencerminkan kenyataan yang jauh dari ideal. Cinta pada murid dan dedikasi terhadap profesi menjadi satu-satunya bahan bakar yang menjaga semangat mereka tetap menyala, di saat penghargaan finansial tak kunjung layak diberikan.


🧠 Dampak Psikologis & Emosional

Kesenjangan yang dialami para guru honorer bukan hanya berdampak pada kondisi finansial semata, tetapi juga sangat memengaruhi kesehatan mental dan emosional mereka. Dalam keseharian, banyak guru mengalami stres kronis dan kelelahan fisik akibat beban kerja yang berat namun tidak sebanding dengan penghasilan.

Tak jarang mereka merasa tidak dihargai, kehilangan motivasi, dan mengalami kesulitan fokus saat mengajar karena pikirannya terbagi untuk mencari penghasilan tambahan. Tekanan ini semakin bertambah saat kebutuhan keluarga tak terpenuhi, mendorong sebagian guru terpaksa berutang atau bahkan menggunakan layanan pinjaman online (pinjol).

Menurut laporan OJK, sebanyak 42 % warga yang terjerat pinjol ilegal adalah guru.
(GoodStats, Benar News, Reddit, Detik)

Data ini mencerminkan bahwa tekanan finansial telah masuk ke ranah psikologis, menciptakan beban mental yang tidak ringan. Tanpa dukungan yang memadai, guru berisiko mengalami burnout, kehilangan semangat, dan berimbas pada kualitas pembelajaran di kelas.


🤝 Pentingnya Dukungan Emosional

Di tengah tekanan finansial dan tantangan profesi, guru tidak hanya membutuhkan insentif materi, tetapi juga dukungan emosional yang nyata dan berkelanjutan. Dukungan ini berperan besar dalam menjaga semangat, ketahanan mental, serta kesehatan jiwa guru.

Beberapa bentuk dukungan yang terbukti efektif antara lain:

  • Apresiasi, baik formal seperti penghargaan dari kepala sekolah atau pemerintah daerah, maupun informal dari siswa dan orang tua yang mengakui peran penting guru;

  • Komunitas pendukung antar-guru, tempat mereka dapat saling berbagi cerita, saling menyemangati, dan merasa tidak sendiri dalam menghadapi tantangan;

  • Sesi konseling, refleksi, atau pelatihan manajemen stres, yang membantu guru mengenali dan mengelola kelelahan emosional serta mencegah burn-out.

Dengan adanya ekosistem yang suportif, guru bisa tetap menjalankan tugasnya dengan dedikasi tinggi meskipun dalam keterbatasan. Dukungan seperti inilah yang menjadi bahan bakar moral untuk terus melangkah.


🧾 Apa yang Bisa Dilakukan?

Mengatasi ketimpangan kesejahteraan guru membutuhkan kolaborasi lintas pihak—mulai dari pemerintah, sekolah, komunitas, hingga masyarakat umum. Setiap pihak punya peran penting untuk menciptakan perubahan nyata.

✅ Pemerintah

  • Fokus pada peningkatan kesejahteraan, khususnya guru honorer, melalui alokasi anggaran yang adil dan berkelanjutan. Termasuk mengejar target pengangkatan 150.000 guru honorer menjadi ASN/PPPK pada 2025 sebagai bagian dari roadmap nasional (pdv.co.id).

  • Permudah akses sertifikasi dan penyetaraan kompetensi bagi guru non-ASN dengan birokrasi yang lebih sederhana, adil, dan merata, termasuk pelatihan berbasis kebutuhan nyata lapangan.

  • Evaluasi sistem tunjangan dan insentif, agar tidak hanya berbasis status kepegawaian, tetapi juga mempertimbangkan beban kerja, lokasi tugas, dan kinerja guru.

🏫 Sekolah & Komunitas

  • Bangun budaya apresiatif, seperti penghargaan “Teacher of the Month”, sistem umpan balik dari siswa dan orang tua, serta penghormatan terhadap guru dengan etika profesional.

  • Ciptakan ruang aman bagi guru untuk berekspresi, berbagi tantangan, mengikuti mentoring atau sesi refleksi rutin, baik secara tatap muka maupun daring.

  • Perkuat solidaritas antarguru, misalnya melalui komunitas belajar, forum diskusi, atau kelompok dukungan yang inklusif dan membangun.

👨‍👩‍👧 Publik & Orang Tua

  • Tunjukkan respek kepada guru, tidak hanya lewat ucapan terima kasih, tetapi juga dengan memperlakukan mereka sebagai mitra penting dalam pendidikan anak.

  • Dukung transparansi dana BOS dan insentif, agar penggunaan dana pendidikan adil dan benar-benar sampai pada kebutuhan guru.

  • Jangan anggap remeh peran guru, apalagi saat mereka harus bekerja dalam kondisi serba terbatas. Dukungan sosial dan moral bisa menjadi penyemangat besar bagi para pendidik. Baca juga Deep Learning dalam Perspektif Islam


✨ Penutup: Menguatkan Guru, Menguatkan Bangsa

Guru bukan sekadar pengajar—mereka adalah pilar peradaban, penjaga akhlak, dan penggerak masa depan bangsa. Namun di balik dedikasi mereka, masih banyak yang berjuang dalam kesunyian: bergaji rendah, lelah secara emosional, namun tetap hadir setiap hari dengan cinta yang tak pernah usai.

Sudah saatnya kita berhenti memuji guru hanya di Hari Guru. Perhatian nyata, dukungan emosional, dan kesejahteraan yang adil adalah hak, bukan hadiah. Dengan menyayangi guru, kita sedang menyemai harapan terbaik untuk anak-anak kita.

Seperti sabda Rasulullah ﷺ:
“Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya, serta seluruh makhluk di langit dan di bumi, bahkan semut di dalam lubangnya dan ikan di lautan, mendoakan orang yang mengajarkan kebaikan kepada manusia.”
(HR. Tirmidzi, no. 2685 – Hasan) Baca di sini

Mari jadi bagian dari perubahan. Karena saat guru dimuliakan, pendidikan akan menguat, dan bangsa ini akan naik derajat.

Bogor, 04 Agustus 2025

Ummu Harits